yogyakarta, sejak 2016

Sebuah pendek 0013.

BP Noeringtyas
2 min readFeb 6, 2024
empat buah kursi bundar melingkar tanpa sandara a la kafe dengan satu meja bundar di tengahnya, di salah satu trotoar di kota Jogja
di depan 774

memori pertama tentang yogyakarta adalah saat tahu salah satu orang tua crush semasa smp berasal darisana. itupun kudapati dari ‘katanya’. sejak saat itu, yogyakarta — termasuk waktu berkunjungnya — masuk salah satu doa yang diumbulkan. selang beberapa lebaran kemudian, bapak mengajak kami ke semarang dengan menjanjikan akan ke yogya sebelum kembali ke ngawi. walau awalnya bapak sempat membujukku buat membatalkan janjinya untuk singgah ke yogya dulu, tapi akhirnya terlaksana juga. malioboro dan pasar beringharjo jadi salah dua tempat yang kami jujug kala itu.

memori susulan datang saat saya dan yeano secara sengaja datang ke yogya untuk menyebarkan informasi tentang olimpiade ekis kala itu. meski sebenarnya bisa lewat pos atau media sosial — meski belum masif — kami beralasan untuk ke yogya sekalian liburan tipis-tipis. tiba saatnya saya lulus dari s1. doanya sederhana: mau kerja di yogya. alhamdulillah, ada satu posisi yang sudi menerima. dan sejak tahun itu, segalanya berubah — 2016.

sejak 2016, relasi surabaya-yogyakarta makin rekat dan makin dekat. bagi saya, jaraknya hanya dua stasiun; gubeng dan tugu. pekerjaan pertama saya sekaligus jatuh cintanya saya atas organisasi dan isu ini— disabilitas & ketenagakerjaan.

sejak 2016, hubungan ini berubah dari sekadar turis polos yang mengiyakan saja kata turis lainnya, meski belum tentu benar, menjadi seorang pengunjung yang medioker. tapi, semedioker-mediokernya saya, selalu ada yang berbeda jika mengunjungi yogyakarta.

“berbeda” — yang berbeda dengan kepunyaanmu. dengan kepunyaannya. dengan kepunyaan mereka — bisa kau sebut ini semacam romantisasi atau pilih satu majas yang kau kehendaki.

yogyakarta berubah dari nama sebuah kraton besar dan urusan administratif, plengkung gading, gudeng wijilan, sekotak bakpia, alun-alun, panggung krapyak menjadi lokus mini di sidikan — yang nama jalannya saja berupa bunga yang bagi orang jawa pralambang keberuntungan bagi yang mampu melihatnya saat mekar, wijayakusuma. disana, billy yang malu-malu, pelan-pelan berubah, pelan-pelan, menjadi tambah malu-maluin.

hubungan kami — diriku dan organisasi dan isu ini — tidak pernah mulus layaknya trans jawa. pernah aku berujar ke bu nia untuk putar balik, karena merasa tak layak bekerja dan berupaya disana. sungguh malang nasibnya. billy yang sekarang sudah tentu menertawai billy saat itu, di ruang kecil di jalan pandan.

syahdan, dalam seluruh roman dari seluruh pelosok dunia, kisah yang lurus, lempeng, mulus, malah ditolaki oleh pembaca. karena pembaca butuh dinamika dan alur yang tak karuan diluar juring agar mampu menjadi bukan dirinya sendiri. itulah kekuatan narasi. dan justru kisah yang penuh dramalah yang membuatnya menetap kuat di benak dan bahkan dengan serta merta diturunkan ke liyan.

sehingga kumaknai perjalanan sejak 2016 itu sebagai drama dan tragedi yang menarik untuk ditutur dan bahkan dituliskan dalam sebuah pendek literatur.

yogyakarta, sejak 2016 — yang kudoakan hanya satu: semoga tidak berujung. dan selalu berkunjung. dan selalu mampu disanjung. dan selalu terhubung dengan orang-orang teladan yang beruntung.

rekomendasi audio saat membaca pendek di atas:

https://www.youtube.com/watch?v=K6VTyE8UCNw

--

--

BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based