Tugas Refleksi dari Bu Prani: Budi Pekerti (2023)

Mula 1. Ngundhuh wohing pakarti (jawa)

BP Noeringtyas
Jula Juli

--

Saat kepala sekolah menyambut Bu Prani yang berbalut batik motif garuda untuk terakhir kalinya, dia menyebut satu kondisi — bahwa seorang siswa menelepon sekolah untuk mengembalikan pengharum ruangan otomatis. Kepala sekolah bilang bahwa itu bisa dititipkan padanya, tapi sejak siswa tersebut tahu bahwa hari itu adalah hari terakhir Bu Prani di sekolah, dia memaksa hadir ke sekolah yang masih terbatas karena pandemi. Saat pintu sekolah dengan pahatan besi berwarna yang menunjukkan dua murid dari tampak belakang itu dibuka, murid tersebut (Boni Nugraha) dengan masker kuningnya dalam posisi jongkok dan saat Bu Prani keluar dengan diiringi oleh guru-guru lain berseragam kuning keemasan di belakangnya, Boni melakukan salam:

“Berdiri! Beri salam!”

Lalu semua murid di belakang Boni ikut berdiri. Guru-guru dengan seragam keemasan menutup mulutnya dengan masker berwarna kuning.

“Terima kasih Bu Prani.”

Boni yang masih memegang pengharum ruangan otomatis itu, lari ke arah Bu Prani. Memeluknya. Diikuti dengan banyak siswa lainnya.

Bukan! Bukan itu yang bikin semua ini terasa menyesakkan.

Adegan setelah kejadian di depan pintu sekolah:

Semua siswa yang datang mengantar Bu Prani untuk pulang ke rumah di bawah hujan beriring-iringan.

Sebuah adegan dengan visualisasi yang sama seperti saat seorang siswa Bu Prani diantarnya pulang ketika sekolah memutuskan dia tinggal kelas. Seisi kelas dan Bu Prani datang mengantar ke rumah untuk mendukungnya.

Inilah yang paling indah. Sekaligus sesak.

Jika saya ditanyai tentang bagian mana dari film Budi Pekerti (2023) yang paling membekas bagi saya, tentu cuplikan adegan di atas yang paling saya bisa daras ulang. Hati dan emosi saya serasa diremas habis hingga lemas disana. Saya diberikan suguhan potongan kehidupan yang hampir nyata di sekitar banyak orang termasuk saya tentang bagaimana seorang guru melawan-menahan. Berteriak-beriak. Mengisah-mengasih. Oleh karena itu, dalam IG story saya minggu lalu, saya mendoa:

“Semoga Boni dalam keadaan aman dan berbahagia”

Tidak semua orang yang duduk dalam bangku teater paham tentang apa yang terjadi pada Boni. Mengapa Bu Prani memberikan paket sebuah pengharum ruangan otomatis yang memiliki esens yang sama seperti perpustakaan sekolahnya. Banyak orang mungkin berfikir itu sesuatu yang ganjil, aneh, absurd. Tapi menurut Bu Prani, aroma perpustakaan membuat Boni masih bisa beralasan untuk hidup hari ini dan mungkin esok hari.

Budi Pekerti (2023) adalah film Indonesia kedua yang saya tonton tahun ini setelah Buya Hamka. Sejak trailer dan berita bahwa Budi Pekerti terbang ke 2023 Toronto International Film Festival (TIFF), saya sudah bertekad untuk meluangkan waktu bagi film ini. Hingga akhirnya, tiga kali banyaknya saya bersua dengan film tentang Prani Siswoyo (Sha Ine Febriyanti), Didit Wibowo (Dwi Sasono), Tita Sulastri (Prilly Latuconsina), dan Mukhlas Waseso (Angga Yunanda).

Ada banyak magi yang mendorong saya untuk terus menerus bersua dengan keluarga Bu Prani. Pertama. Konflik keluarga yang bersifat asing-tak-asing dan terima-tak-terima. Ada kalanya saya merasa hanya berjarak satu hasta atau lebih dekat dengan apapun yang dilakukan oleh Bu Prani sekeluarga. Ibu saya yang bekerja sebagai guru BP misalnya, membuat saya memahami benar bahwa Bu Prani dan Ibu saya tidak jauh berbeda dalam menangani sebuah kasus di sekolah. Kisah-kisah yang pernah diceritakan Ibu kepada saya juga saya temukan polanya di pendekatan Bu Prani dalam banyak kasus di film.

Namun, ada kalanya, saat permasalahan dalam film itu justru menubuh dan memikir (sudah tidak berjarak lagi dengan tubuh dan pikiran; melebur), saya malah “berusaha menolaknya”. Membuatnya asing. Kesehatan mental yang dimiliki oleh Pak Didit. Upaya narsistik dari Mukhlas. Hingga progresivitas dari Tita. Kadang saya melihat ketiganya menari di dalam saya. Tapi saya menghindar dan tak mau berkenalan.

Secara pribadi, film Budi Pekerti mengajak saya untuk mengenali diri saya lebih baik lagi. Tentang 5W1H-nya saya.

Kedua. Tentang Sasmita. Banyak sekali semiotika yang dipakai dalam film ini. Salah satu yang menarik saya adalah ketika sebuah IG Reels di akun Budi Pekerti yang membahas tentang kenapa warna kuning banyak sekali muncul di film ini. Wregas menjelaskan tentang bagaimana pikiran subtilnya sampai pada warna paruh burung yang cenderung secara umum berwarna kuning. Sepanjang film, analogikal burung juga dipakai untuk menggambarkan bahwa “cuitan” yang terjadi di dunia maya, riuh rendahnya sama halnya dengan suara burung. Hal menarik tidak berhenti disana, salah seorang pengguna IG menambahkan satu komentar di kolom komentar untuk bertanya warna lainnya selain kuning: biru.

Kujelajahi sasmita apa yang muncul antara kuning dan biru. Hingga menemukan bahwa kuning memiliki simbol sebagai kemuliaan, kesejahteraan. Warna ini juga menyiratkan makna berhenti, karena kuning, dalam beberapa kebudayaan, didapuk sebagai warna kedukaan. Mulia, berhenti, riuh adalah tiga hal yang diriku temukan di sepanjang film seingatku. Sementara biru memiliki simbol sebagai ketenangan, kedalaman, dan keluasan. Rujukan utamanya adalah samudra — sebuah kata yang lekat sekali dengan memoriku tentang idul fitri dan upaya pengucapan maaf dari banyak orang. Samudra Pangaksami (jawa) — yang berarti lautan luas yang berisi hati penuh maaf dan sadar. Maka jika merujuk pada ini, biru bermakna tenteram, luas, dan dalam.

Saat semua orang merasa paling benar dan menunjuk-nunjuki dirinya telah menjadi manusia, disitulah hati yang luas dan dalam menyadarkan bahwa kita belum apa-apa. Kita tidak memiliki apa-apa. Earplug.

Maka, dalam sasmita ini saya salut sekali dengan mba Dita Gambiro, sebagai penata artistik film Budi Pekerti. Walau kemudian baru saya temui klarifikasi dari mba Dita sendiri ternyata biru dan kuning diambilnya dari cover buku PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Ada banyak sekali sasmita yang saya temui sepanjang film — peribahasa latin di rumah Bu Prani, foto Ki Hajar Dewantara yang diapit oleh potret Martha Christina Tiahahu dan Cut Nyak Dien, Pekuburan, Manekin yang digendong Tita, Gaya potong rambut Iis Dahlia, Lele, Koi, Potongan adegan kaki Bu Prani sebelum masuk kolam, Motif batik yang dipakai Bu Prani, Kawung merah muda saat Bu Wiwit bilang buzzer, Tebing breksi dan lain-lain yang belum saya bisa cari maknanya.

(Yaa meski mungkin sebenernya mereka semua terjadi karena tidak disengaja, tapi semua juga punya maknanya sendiri-sendiri)

Ketiga. Keteladanan. Saya sadar bahwa tidak banyak produk budaya pop yang membawa diri saya ke dalam alam sadar yang utuh dan jauh. Banyak film yang kemudian menjadi box office namun kurang atau bahkan tidak mengandung banyak ajar. Saya merasa itu tidak terjadi di film ini.

Sejak pemilihan nama “Budi Pekerti” maupun “Andragogy” (nama internasional dari Budi Pekerti), hingga detil-detil yang ditumpahkan tentang bagaimana pemain didekati, lokasi syuting, dan extras misalnya, saya menemukan film ini ‘walk the talk’ dan mengingatkan saya tentang tuntunan yang harusnya juga ada dalam sebuah tontonan. Saya rasa juga sepakat dengan Pak Butet bahwa Budi Pekerti akan menjadi film penanda jika diputar sepuluh tahun lagi, perubahan laku analog menjadi digital.

Ingat betul bahwa hujan dan mantel hujan banyak dipakai di film ini. (Mungkin) Wregas ingin menunjukkan bahwa dalam “hujan hujatan” yang bertubi-tubi, bertahan di bawah hujan dengan mantel adalah upaya paling baik yang bisa dilakukan. Persis seperti apa yang dulu mba Afutami pernah paparkan di video ini.

Potongan twit yang berisi: Seperti yang ditulis oleh Laporan Rand Corp ini. Jangan pernah melawan semprotan selang damkar untuk kebohongan (firehose of falsehood) ini dengan semprotan kebenaran. Karena cara ini tidak akan berhasil. Tapi berikanlah jas hujan (raincoat) kepada masyarakat.
Potongan tweet yang kemudian juga diwawancari oleh mba Afu dalam videonya.

“Terlalu banyak keserakahan, terlalu langka keteladanan.”

Pada pesan WA yang diterima Bu Prani, Daru Aditya, salah seorang siswanya yang diberikan ‘refleksi’ olehnya untuk memperdengarkan kata-kata Daru yang diucapkan pada salah seorang temannya kepada eksperimen kecambahnya, ternyata tidak ditemukan perbedaan tinggi antara kecambah yang diberikan perlakuan (diperdengarkan) dengan kecambah kontrol (yang tidak diperdengarkan). Sama-sama 23 cm.

Bu Prani lalu menggeser-nggeser pesan lainnya yang ia kirim ke Daru. Salah satunya adalah pesan suara. Dia mendegarnya berulang-ulang hingga tertangis dan tertidur.

Selamat Hari Guru Nasional 2023 untuk seluruh guru terbaik di negara ini.

Terlepas dari riuhnya kesejahteraan Guru, administrasi dan kurikulum yang terus berganti, pandangan dan opini orang tentang bagaimana seyogyanya pendidikan dilaksanakan, Guru yang saya kenal adalah guru yang ada disana:

Guru yang ada untuk murid dan siswanya. Saat ajar tak mampu menyentuh nalar, peluk hangat dan usap lembut bisa jadi jalan keluar. Ujung kening maupun hidung bahkan mulut ribuan murid mungkin pernah singgah di ujung jemari yang kau gunakan untuk naik motor, memotong lombok di dapur, membuat bahan ajar.

Ujung jari yang sama yang kau gunakan untuk mempertahankan hidup tak terperi hari ini.

Dirga yuswa perjuangan Guru! — dari putra seorang guru BP, sama seperti Bu Prani.

Sebuah Sepatu dan Kaca
Dokumentasi pribadi penulis

“Sudah berefleksi hari ini?”

(Bu Prani sambil berdiri melempar senyum di ujung lorong kelas)

--

--

BP Noeringtyas
Jula Juli

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based