Selepas Malang

Sebuah Pendek 0010. Hasil sementara kontemplasi dua tahunan; tahun genap

BP Noeringtyas
3 min readSep 2, 2022
Owah Gingsir 2022

[1/3] 31 Agustus, hampir satu jam kami menunggu makanan disajikan di suatu depot makan di Malang, sekembalinya Bayek dan Nawang dari Mesjid, saya dan Cakra berangkat bergantian untuk salat maghrib. Sepanjang jalan yang pendek itu, kami berdiskusi singkat, saling menyahut, tapi dalam tentang apa yang terjadi hari ini dengan unit kami (dahulu). Banyak jawaban yang kemudian muncul, sedikit yang tervalidasi. Selebihnya asumsi-asumsi acak dari kami.

Tapi, ada satu pertanyaan yang saya dan Cakra belum bisa jawab malam itu, bahkan sampai berkendara hingga Pandaan; “Kenapa kami ke Malang?”. Kami, padahal, punya 9 dari 10 alasan terkuat di muka bumi untuk tetap tinggal di Surabaya, mengerjakan pekerjaan kami, membersamai Bila di saat-saat ini, dan urusan-urusan super penting lainnya (kami pikir) ketimbang berangkat ke Malang. Ada beberapa hipotesa muncul, kami memilih yang terkuat untuk memenuhi rasa ketertarikan kami tapi tetap tiada kuasa bagi kamu menentukan kebenaran jawabannya.

[2/3] Saya menduga banyak hal terjadi di benak Bayek dan Nawang juga, pun dengan Cakra. Tapi, saya tidak berani mendahului lisan mereka tentang ini. Jadilah, hanya saya yang bisa memastikan beratnya kepala saya sendiri kemarin. Penuh.

UKTK kembali ke tiga besar setelah delapan tahin ini mencoba-coba kuatnya pikir anak jurusan Farmasi tentang kekaryaan tari, menggembleng daya kreatif anak jurusan Sastra Indonesia tentang partitur musik dan tautannya dengan gamelan, dan menengok-nengok eksplorasi gerak tari anak jurusan Ekonomi Pembangunan. Mereka semua, sepengetahuan saya hingga saat ini, sama seperti zaman saya, tidak ada materi khusus (di kelas) tentang bagaimana sebuah tarian dan sajian tarian dikreasikan. Nul. Semua tumbuh alami dalam satu saji; wadah; upaya; bejana.

Maka mungkin benar apa kata Pak Wahyo saat menghibur saya sesenggukan ketika belum bisa bermain kempul dan gong saat mengiringi wayang bahwa kami, di UKTK, adalah orang-orang yang diluarkebiasaan karena dengan fakta pelbagai jurusan kami yang non seni itu, kami masih mau untuk menyentuh dan sudi untuk mengembangkan diri dalam berkesenian.

[3/3] Tahun genap kedelapan ini, jujur, tidak bisa dibilang gemilang, jauh dari itu. Sungguh. Banyak musik yang perlu dieksplorasi lagi. Banyak ragam tari yang bisa ditambah lagi. Dasarnya, juga banyak kisah yang bisa digali lagi. Tapi, serangan dua tahun pandemi ini, dan dengan sempitnya waktu yang diberi, membikin karya ini dinilai jadi, walau masih terlampau dini. Evaluasi demi evaluasi perlu dilakukan, agar diri dan kelompok sadar, dua tahun lagi perlu ditunjukkan lompatan perbaikan. Ada satu titik yang bikin saya emosional sekaligus bingah, tunas muncul subur, jaringan apikal dalam kekaryaan berjalan mesti belum optimal. Perlu lingkungan yang kondusif agar kekaryaan bisa bertumbuh dengan baik.

Saya dan hati juga begitu, memperbaiki pertanyaan-pertanyaan yang muncul saat menonton karya, tidak semua-muanya minta dimasukkan ke dalam hati. Pun perlu adanya jarak, bukan untuk memisahkan diri melainkan agar paham bagaimana menonton karya unit (dahulu) sendiri.

Satu pesan yang pasti: di UKTK, banyak luka di kaki yang tak nampak di wajah penari. Banyak jari terkilir yang tak nampak di sunggingan senyum pengrawit. Banyak jam tidur tergadai demi naskah tari yang entah kemana. Banyak jam kelas dikolaborasikan dengan belajar tata cahaya dan tata panggung, jadikan itu padma diri yang selalu berkembang.

Tahniah, UKTK! Semoga dapat bersua dua tahun lagi dalam kondisi lebih baik dari ini.

--

--

BP Noeringtyas
BP Noeringtyas

Written by BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru writings while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ

No responses yet