SBM dan Kemampuan Menyimaknya

Sebuah Pendek 014. Sejak 16 Maret 2020 a.k.a Mengapa SBM begitu ‘outstanding’?

BP Noeringtyas
5 min readMar 16, 2024

Ini adalah sebuah cerita kecil semasa S2 tentang pentingnya menyimak dan penciptaan rasa ‘belonging’ dari proses kecil tersebut.

Bu Andang menghubungi saya untuk menanyakan kesediaan saya mewakili jurusan minat saya, MBA YP, dalam sesi hearing rutin dengan tim QA – Quality Assurance, dari fakultas. Tidak perlu waktu lama, saya mengiyakan ajakan tersebut. Sesaat setelah dihubungi oleh bu Andang, saya kemudian menghubungi beberapa kawan di kelas YP lainnya karena sadar bahwa saya secara tidak langsung adalah representasi dari aspirasi YP dan sebab serta dasar kesadaran tersebutlah saya tidak boleh membuat asumsi, imajinasi maupun bias yang hanya keluar dari hasil observasi maupun dari kasak-kusuk sana-sini. Terhimpun beberapa aspirasi dan catatan. Saya merasa lebih siap. Sehingga saya datang dengan bekal yang lumayan cukup baik.

Karena masih ada jadwal kuliah di waktu yang telah diagendakan, saya menyusul sesi tersebut setelah kuliah dan masuklah saya di ruang virtual yang juga dipenuhi dengan wakil dari minat lainnya. Disana ada Pak Achmad Ghazali dan tim QA yang sedang mengajukan sejumlah pertanyaan, mengonfirmasi layanan-layanan akademik yang telah diberikan, dan bagaimana seharusnya sebuah pembelajaran bisa ditingkatkan dari sudut pandang mahasiswa. Tipikal pertanyaan QA yang sewajarnya.

Tiba giliran saya untuk memberikan apa-apa yang diperlukan. Saat saya ditanya, saya kemudian memberikan gambaran dinamika yang terjadi — yang kemudian saya dokumentasikan secara konstruktif ke dalam total tujuh lembar A4 dokumen digital. Perihal COVID-19 dan dampaknya terhadap pembelajaran, saya menyampaikan beberapa temuan yang telah saya temui melalui riset secara impromtu beberapa waktu lalu saat beberapa kawan di kelas menyampaikan uneg-uneg dan kegelisahan tentang pembelajaran yang terkesan kurang memenuhi ekspektasi awal mereka masuk ke SBM. Syahdan, saya melakukan intentional random research ke beberapa situs kampus bisnis top dunia agar mengetahui bagaimana kampus dan sekolah bisnis merespons migrasi masal yang tak terbayangkan sebelumnya dari ruang fisik ke ruang maya. Terlebih bagaimana mereka menavigasi ekspektasi stakeholders dalam situasi yang sangat luar biasa itu. Bahkan saya telah menjelajah seluruh Ivy League, kampus bisnis di bawah Russel Group, The Group of Eight Australia hingga asosiasi akreditasi yang biasanya moncer memberikan tips dan panduan seperti AACSB, EQUIS, AMBA dan PRME. Namun, praksis yang saya cari nihil. Pengecualian di Wharton UPenn melalui Wharton Online milik mereka yang jauh telah lebih dulu ada sebelum pandemi. Selebihnya, hanya berita-berita ringan dan tidak ada respons yang bisa saya jadikan acuan. Meski begitu saya mencatatnya untuk dijadikan temuan.

Seluruh proses di atas, saya lakukan jauh sebelum Bu Andang memutuskan untuk menghubungi saya — bahkan Bu Andang juga tidak tahu kalau saya sedang melakukan riset atas isu yang berkembang. Pada awalnya, hasil riset ingin saya simpan sendiri tapi semesta nampaknya ‘curi dengar’ dan kok dilalah, saya diminta hadir di forum rutin tersebut. Such a coincidence!

‘Tapi, Mengapa melakukan semua ini, Bil?’ you may wonder. My answer: We can do better than this and through correct benchmarking and the right follow up action, we would lead and design better deliverable services in classes. Mungkin benar, saya punya ‘bekingan keuangan’ yang memastikan seluruh tagihan keuangan selama kuliah dapat dipastikan aman (baca: beasiswa). Tapi bagaimana dengan kawan saya lainnya di kelas yang menggunakan self-funding? Beberapa diantara mereka memang bisa dan minim terdampak. Tapi setidakterdampaknya mereka, COVID telah terkenal didapuk sebagai the most devastating events in modern life. Once I believe that “pay it forward” could be the most powerful action, as an LPDP awardee, that shouldn’t wait I graduated till I do that. During my time, I’m wanting to be impactful as my promise to the donor — people.

Sebenarnya, saya tidak begitu punya ekspektasi yang terlalu tinggi bahwa aspirasi yang saya susun dan kumpulkan secara sporadis ini diterima dan bahkan ditindaklanjuti. Namun, anggapan saya tersebut keliru. Saya merasa berhadapan dengan kumpulan orang yang ‘berbeda’ — y’all know what I mean, c’mon. Saat mendengar jawaban dan paparan saya, ada hal yang mengejutkan saya. Respon dan reaksi Pak Achmad Ghazali sangat positif dan bahkan mengatakan kalau ini (penyampaian yang saya berikan)-lah yang mereka cari. Tiba-tiba, Pak Achmad Ghazali di sela-sela sesi, menginstruksikan kepada timnya untuk mengatur waktu sendiri dengan saya di luar sesi terencana ini untuk mendengar lebih dalam terkait apa yang saya sampaikan. Dua minggu kemudian, Pak Achmad Ghazali pay his words, sesi terlaksana dan semua aspirasi yang saya tulis dan himpun, saya ‘lepas’ ke tim QA dengan ridha dan penuh keyakinan.

Beberapa minggu kemudian, muncul surat keputusan rektor tentang penurunan bea semester pendek — yang konsen isunya juga saya sertakan di dokumen yang diserahkan pada tim QA. Terlepas dari apakah keputusan tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh dokumen dan sesi hearing tersebut, tapi aspirasi kami tentang keringanan dikabulkan. Meski sangat belum dapat dibilang sebagai kompensasi, tapi cukup menurunkan tensi yang ada.

Dari kejadian sederhana ini, saya belajar bahwa pada waktu yang “very extraordinary”, salah satu kemampuan yang penting adalah mendengar mendalam atau menyimak. Tidak hanya sekadar “hearing” tetapi “listening”. Sebuah kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh semua orang dalam level mikro dan organisasi dalam level makro — sebuah distingsi atau pembeda dari manusia dengan mesin yang dalam pelbagai prakiraan akan menggantikan peran dan fungsinya di masa depan.

All humans and its voices matter! Once those disobeyed, don’t hope for any chance.

Ini memberikan kesan yang sangat dalam bagi saya dan menjawab sedikit rasa penasaran saya tentang bagaimana SBM sebagai fakultas begitu terkesan ‘sekuat’ itu — bahwa kemampuan mendengar mereka yang sebenarnya cukup dasar, saya rasa memang ‘di atas rata-rata’. Saat yang lain datang dengan ‘sumpalan di telinganya’ (eg. menganggap proses QA sebuah formalitas semata), tim QA sebagai representasi SBM — setidaknya saat itu — datang dengan keterbukaan dan intensi. Bukan saja hanya menyimak, melainkan juga menjawab secara bertanggung jawab, terbuka, dan yang paling penting: vulnerable. Dalam beberapa hal, Pak Achmad Ghazali memaparkan apa yang kurang dan apa yang akan dilakukan dalam waktu dekat oleh fakultas dan prodi. Bagi saya, keterbukaan seperti ini di perguruan tinggi perlu ditiru dan direplikasi di berbagai tempat yang menyebut diri mereka sebagai ‘penyelenggara pendidikan tinggi.’

Hari ini, empat tahun lalu, kampus ditutup yang berujung pada perjumpaan-perjumpaan dengan dansa-dansa ketidakpastian akibat pandemi. Saya kira apa yang dibilang oleh Bu Neta, Kaprodi MBA waktu itu, bahwa hikmah dari pandemi itu benar adanya — tanpa adanya pandemi, catatan untuk tumbuh dan kembang menjadi tertutup dan kesempatan dalam sebuah waktu yang luar biasa, mengutip jargon Oxford Saïd Business School, hanya datang kepada mereka yang siap. Walakin, kesiapan tersebut perlu dicari, dibentuk, diniatkan, dan dilaksanakan. A lesson learned doesn’t go anywhere by itself, but the master do — ourselves.

Hingga saya kira, meski banyak orang menyoraki kami yang tumbuh dan berproses dalam kondisi pembelajaran serba terbatas akibat pandemi bahkan menghadiri wisuda daring, kami telah menjadi bak tomat termanis yang tumbuh di ladang tandus minim air — yang tentu tidak semua orang bisa, mau, dan berhasil melalui ini.

16 March 2020–16 March 2024, What a journey!

Thanks SBM. I learned a lot from this exemplary — during my time in SBM, I feel heard.

Gambar words
dokumen yang saya berikan ke Tim QA waktu itu

--

--

BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based