Refleksi Lebaran 2021m/1442h

Edisi Khusus. Satu titik dalam perjalanan mengenal “Maaf”

BP Noeringtyas
7 min readMay 13, 2021
Berlatar belakang hitam dengan titik putih di bagian atas dan di bagian bawah ada tulisan wilujeng ied 1442/2021 h/m

Tahun-tahun sebelum ini, biasanya saya akan membuat satu kartu lebaran yang akan saya bagikan ke seluruh anggota keluarga dan mereka akan menyebarkannya pula ke beberapa jaringan sanak, kerabat, teman dan sahabat. Namun, hingga akhir Ramadan 2021m/1442h, saya masih terlarut dalam upaya-upaya pendekatan diri saya kepada Tuhan, sehingga terlupa, konten visual apa yang perlu saya bikin dan bagikan kali ini. Beberapa lebaran lalu, saya membagikan makna Blencong , tulisan di atas latar belakang putih dan juga tulisan di atas latar belakang hitam. Agaknya, saya kehabisan akal untuk tahun ini, dan mencoba untuk menghantarkannya melalui refleksi singkat saya di medium. Tulisan ini, saya dedikasikan kepada seluruh semesta yang sudah mendukung ijin Tuhan atas keberadaan saya di dunia ini, kemarin dan hari ini. Mereka bekerja dan menjalankan misinya, dalam satu kompleks yang tidak bisa saya jelas dan uraikan satu satu benang intinya. Oleh karena itu, satu hari ini, hari satu bulan baru ini, saya beri tajuk; “perjalanan mengenal maaf”.

Refleksi ini akan terbagi setidaknya menjadi tiga bagian besar. Pertama, saya akan mencoba untuk menjelaskan apa yang mendorong saya untuk menuliskan ucapan lebaran saya, ketimbang menjadikannya visual. Kedua, saya akan mencoba untuk menangkap satu gelagat dari diri saya yang saya rasakan saat memasuki satu syawal tahun ini. Ketiga, saya akan membawa pembaca untuk bisa berkenalan dengan dua hal; satu adalah kebanggaan saya terhadap Cakra dan dua adalah ucapan Lebaran 2021m/1442h.

Pertama

Saya adalah orang yang senang sekali menghabiskan waktu berjam-jam menonton audio-visual melalui kanal-kanal yang tersedia, atau pun menjelajahi kreativitas banyak orang melalui Pinterest. I love visual! Sehingga, dorongan-dorongan untuk menjadikan pesan-pesan saya menjadi suatu visual menjadi sangat besar. Salah satunya, yang saya telah jabarkan di atas. Saat lebaran tiba, saya akan buat satu kartu ucapan digital untuk dibagikan. Tapi, untuk kali ini, saya mencoba hal baru; menuliskannya secara digital melalui medium.

Saya belum ahli merangkai kata menjadi satu tulisan yang apik, tapi saya percaya bahwa semakin lama kita menulis, semakin banyak tulisan yang kita cipta dan reka, maka semakin saya tahu bahwa tulisan saya sebelum-sebelumnya penuh dengan kekurangan. Oleh karenanya saya akan belajar dari sana. Ini seperti apa yang Pak Ferry ucapkan; “Tulis saja dulu.”

Melalui pesan lebaran 2021m/1442h kali ini, saya berharap, pembaca akan membacanya dengan ringan seperti isi surel singkat “Liz” Elizabeth Gilbert saat mencoba menghubungkan koneksinya untuk bisa membantu Wayan dan anaknya, Tuti untuk bisa melunasi hutang-hutangnya dan melanjutkan hidupnya, dalam Eat, Pray, Love. Saya berharap seringan itu, dan saya harap bisa seperti itu, hehe. Pun, ini adalah salah satu cara saya untuk bisa membawa pesan lebaran saya lebih mendekripsikan apa-apa yang saya rasakan dengan cukup detil dan bisa dinikmati oleh banyak teman, kerabat, keluarga, dan orang-orang di luar sana, karena cukup aksesibel ketimbang bentuk gambar yang perlu saya deskripsikan untuk teman-teman saya dengan hambatan penglihatan. Ini juga cara untuk bisa melatih keberanian menulis saya, kelihaian saya mengejawantahkan apa yang saya rasa, dan kekuatan saya dalam menyampaikan pesan tertulis, salah satu alat yang cukup tua yang digunakan manusia dalam menjelaskan abstraksi dirinya.

Kedua

Tahun ini saya memasuki tahun kedua saya dalam pendidikan magister saya. Sejak lebaran terakhir tahun lalu, saya pun bersentuhan dengan banyak orang, banyak teman, banyak dosen, banyak manusia yang kemudian menjadikan satu jalinan hubungan antara saya dengan mereka. Ketika satu syawal datang, dan mereka satu per satu mengirimkan pesan digital, menuangkan ekspresinya dalam bentuk visual secara pribadi, saya merasa abundant atau berkelimpahan. Saya harus satu per satu membalas mereka dengan cukup baik karena mereka juga memasukkan nama saya secara khusus ke dalam data penerima ucapan lebaran dari mereka. Ini baik sekali. Diantara banyaknya manusia yang mereka harus jangkau, mereka masih mengingat saya, atau setidaknya karena alasan lain, saya perlu membalasnya dengan baik.

Saya juga merasa, mengirimkan dan menunjukkan pesan secara visual saja seperti yang lalu-lalu, belum tentu cukup membalas budi baik mereka. Saya merasa perlu untuk bisa menggambarkan perjalanan saya dalam mengenal ucapan-ucapan tersebut dan menjadikan satu-satu pesan itu masuk dan menjadi bahan kontemplasi diri. Agar pada lebaran selanjutnya, tentu jika saya diberi usia, keadaan saya menjadi lebih baik lagi dengan mengkuotasi apa yang manusia lain berikan kepada saya di satu syawal kali ini.

Ketiga

Memori pada ponsel pintar saya dalam setahun belakangan ini sudah mencapai limitnya, yang membuat saya harus lebih bijak dalam menggunakan media sosial yang memungkinkan untuk membuat memori ponsel pintar saya penuh. Salah satunya adalah mengurangi aktivitas digital saya melalui Instagram. Saya harus mengatur kapan saya harus Log in dan kapan saya harus Log out. Ini juga membantu saya untuk bisa mengatur aktivitas saya di media sosial agar bisa lebih baik dan tidak mengundang candu (saya masih belajar akan hal ini, doakan ya!).

Saat saya Log in pada hari lebaran ini, saya mendapati Cakra mengirimkan pesan singkat melalui Direct Message di Instagram yang berisi seperti gambar di bawah ini:

Gambar ini adalah tangkapan layar dari percakapan Cakra, yang meminta masukkan terhadap pernyataan Balik pohon atas Lebaran 2021 ini yang nuga meminta maaf terhadap ibu bumi.
Pesan singkat Cakra atas Pernyataan Lebaran Balik Pohon

Saya tertarik dengan isu yang coba Cakra bawa dalam pesan Lebarannya tahun ini. Cakra dengan segala usaha terbaiknya untuk bisa membawa brand kopi buatannya menjadi kopi yang berkelanjutan mencoba untuk memberikan gambaran tentang ucapan ‘maaf’ yang sering sekali saya, diri saya, dan Billy ataupun kita semua lupakan, yakni meminta maaf juga terhadap ibu bumi. Atas segala yang Cakra telah lakukan, dia melalui ‘anaknya’, Balik Pohon mengucap maaf dengan baik kepada ibu bumi. Dan momentum lebaran kali ini, di tengah-tengah COVID-19 ini merupakan moment yang tepat untuk bisa kita sebagai manusia merangkai kembali rajutan terbaik dan kontinyu kita terhadap ibu bumi. Atas apa-apa yang Cakra juga lakukan, saya pun menggeleng-gelengkan kepala saya sambil berucap: “Gila! Kok bisa kepikiran!”. I am such a proud friend!

kami minta maaf.

di momen baik ini, kami minta maaf. bukan hanya ke kalian saja, tapi ke bumi yang kita tinggali.

untuk kalian, maaf jika kami tidak bisa melayani kalian dengan baik. tidak bisa konsisten dalam hal rasa maupun waktu operasional. kami sedang mempersiapkan sesuatu. sesuatu yang sangat baik bagi kamu dan lingkunganmu.

dan untuk bumi, maaf bila balikpohon masih menggunakan barang atau bahan yang dapat merusakmu dan membuatmu tidak baik-baik saja. balikpohon sedang berbenah, berbenah untuk menjadi kedai kopi yang lebih ramah dan bersahabat lagi denganmu.

kami minta maaf.

Dikutip dari Instagram @balikpohon

Untuk sampai di titik ini, Cakra tentu saja berproses tanpa henti. Riset sana-sini, mondar-mandir ke kota A dan mampir dan singgah di kabupaten B, hanya untuk bisa memastikan kopi yang dia bikin memang berkontribusi baik terhadap kelangsungan ibu bumi. Sebagai seorang yang belajar bisnis, saya merasa bahwa keputusan super berani ini, yang mendorong Cakra menggaungkan ini, merupakan proses panjang penerimaan Cakra terhadap dirinya, lingkungannya, dan bisnisnya. Belum tentu final, tapi bergerak sedikit demi sedikit juga bukan berarti bersalah bukan. Sekali lagi, saya bangga Cak!

Tentang penerimaan diri, saya juga tertarik dengan salah satu dokumenter perjalanan Rick Steves’ Europe yang membawa kita ke Nürnberg, Jerman.

Rick Steves’ Europe: Germany’s Frankfur and Nürnberg

Ada satu pernyataan dari kolega Steves yang menjadi pemandu tur di Nürnberg tentang satu bagian dari Museum The Nazi Documenter Center yang merupakan bagian dari gedung yang belum jadi, Nazi Congress Hall. Disana Thomas Schmechtig, sebagai pemandu tur sampai pada satu ruang yang dinamakan ruang kelas, dimana seluruh orang bisa belajar tentang sejarah kelam negara Jerman. Dia berkata:

Incorporated into these museums are classrooms like this.”

Why is that?” — Steves menjawab

Because every student, military, policeman should learn from our difficult history.

So this really is today, part of German education” — Steves menjawab

Yeah, it finally arrived in our education system.

Dari percakapan singkat di atas, sedikit menggambarkan untuk bisa menjadi Jerman yang kita kenal seperti saat ini, yang mana kebijakannya berlandaskan setidaknya dengan riset-riset terkini dan terbaik, dan termahsyur atas keunggulan teknologi, harus melalui saat-saat sulit dan terberat sebagai sebuah bangsa. Dan yang paling penting dari keseluruhan proses ini adalah bagaimana Jerman “menerima” diri mereka sebagai bangsa yang juga tidak lepas dari kesalahan di masa lampau, mau menerimanya. Dan sejauh apa yang saya pernah pelajar dari pelatihan-pelatihan kepemudaan disabilitas yang saya pernah ikuti dalam tiga tahun, hal pertama dan terpenting dalam menjadikan mereka siap untuk berkarya dan bekerja adalah menerima diri.

Saya juga teringat atas video singkat tentang mengapa sejarah penting, yang pernah dibikin oleh Frame & Sentences yang diunggah di YouTube tiga tahun lalu.

Frame & Sentences. How to move on: On History | Ngapain Belajar Sejarah?

Akhir

Ternyata refleksi saya tidak singkat, dan saya tahu itu sejak awal, hehe. Akhir bagian refleksi ini, saya ingin menyimpulkan secara singkat tentang pengenalan kata ‘maaf’ yang berkenaan dengan ucapan lebaran 2021m/1442h:

“Ternyata maaf-maaf kita terhadap orang tua kita, terhadap keluarga-keluarga kita, terhadap teman dan sahabat kita, memang harus bermula dengan maaf kita terhadap diri kita sendiri. Sejauh ini apa sudah kita mengetuk dan memberi ruang yang cukup bagi diri kita sendiri untuk mengucapkan dengan tulus atau menerima dengan tulus ucapan maaf tersebut. Tentu ini diawali dengan proses penerimaan diri yang tidak sehari dua hari selesai. Ini melibatkan ketaatan waktu, kedisiplinan rutin, dan hati yang penuh.”

“Selamat merayakan hari raya Idul Fitri 2021m/1442h bersama yang tersayang dan terkasih. Terima kasih sudah menepati janji kalian untuk tetap berusaha sehat dan berusaha bahagia sampai akhir Ramadan. Selanjutnya, tetap berusaha sehat dan berusaha bahagia ya. Salam saya untuk semua orang terkasih kalian.”

Ditulis di Surabaya, 01 Syawal 1442h/13 Mei 2021, bertepatan dengan kenaikan Isa Al-masih, dan dengan kerendahan hati berdoa untuk seluruh keselamatan bangsa dan rakyat Palestina, Aamiin.

--

--

BP Noeringtyas
BP Noeringtyas

Written by BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru writings while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ

No responses yet