Kelir

Seri 0032. Tentang tahun terbaik(?)

BP Noeringtyas
6 min readJan 17, 2024
Limbuk dan Cangik yang sedang berhadapan dalam salah satu adegan pewayangan
Dari kiri ke kanan: Cangik dan Limbuk dalam sebuah pagelaran wayang di Surabaya 2023. Dokumentasi pribadi penulis.

Pada Billy di masa mendatang: Selalu ingat tahun ini, 2023!

Dang! You made it. You tailored it — you chose to live with it. All results on your time when you read this article are meant to be. May those in the right aisle of all equations of compound years, which 2023 included — actively — augment your visions while sharpen your lovely heart. No to worry about. No to regret about — It is what it is.

Kalau bisa menyebutkan satu tahun terbaik, maka itu adalah tahun 2023! Tentu ada beberapa alasan mengapa tahun 2023 adalah tahun terbaik. Saat melakukan audit tahunan di minggu-minggu terakhir 2023, ternyata banyak hal kecil, sedang, dan besar yang terjadi — yang hingga sekarang, aku juga masih bingung bagaimana filterisasi ini terjadi. Seperti misalnya bagaimana Renjana mampu meluluskan hingga tiga angkatan dalam kelas bahasa Isyarat Indonesia yang panjang. Setelah bertahun-tahun dicoba untuk digelar, baru dimulai di ekor 2022 dan berlanjut hingga saat ini. Tapi, hal seperti Renjana dan keberhasilannya menggelar kelas bukan jadi satu-satunya tajuk utama tahun 2023.

Ada tiga ratus enam puluh sekian hari tentang jumlah hari dalam almanak hitungan masehi. Harusnya jumlah yang sama juga merefleksikan tajuk utama yang terjadi, karena setiap harinya bisa dimaknai sebagai kesempatan yang bertajuk. Sekali lagi: Bisa dimaknai. Otorisasi pemaknaan terletak sepenuhnya padaku. Pada kita. Syarat utama untuk memaknai cukup sederhana: mau dan konsekuen untuk memaknai. Dan bagi saya, memaknai 2023 secara umum berkaitan besar dengan akar, rumah, dan selingkung kecil yang patut dirayakan. Habis-habisan.

Pendek tentang 2023 ini saya beri ihwal: Kelir.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kelir [1] merujuk pada tiga arti. Pertama, tirai kain putih untuk menangkap bayangan wayang kulit; layar putih (untuk gambar hidup). Kedua, kedok (penutup dan sebagainya) untuk menyembunyikan maksud yang sebenarnya. Terakhir, Kelir merujuk pada warna. Terinspirasi dari pidato pengukuhan Guru Besar milik Prof. Wening Udasmoro [2] dari UGM, maka dalam pendek kali ini, kelindan tiga arti kelir tersebut akan coba dikemukakan secara wawas dan subtil. Tanpa menanggalkan satu diantara lainnya.

Dua puluh tiga hal yang dipelajari selama 2023, mulai dari Melik Anggendhong Lali hingga Halte. Semua berarti. Semua bermakna.
Dua puluh tiga hal yang ditemui dan dipelajari di 2023. Dokumentasi pribadi penulis.

Tahun 2023, pada dasarnya adalah tahun 2022 yang bertambah 1 satuan atau tahun 2021 yang bertambah 2 satuan atau juga tahun 2020 yang bertambah 3 satuan. Kalimat sebelumnya saya sadari benar setelah lini masa daring saya dilalui oleh satu reels dari Instagram tentang: tahun ini sesungguhnya adalah akumulasi tahun-tahun sebelumnya. Artinya, “kebaruan” diri yang dikemas oleh tahun yang baru sesungguhnya mengandung sesuatu yang membekas dan lama; memori tahun sebelumnya. Hal ini mengingatkanku tentang Kelir — bahwa setiap tahunnya datang seperti kelir yang selalu berwarna putih. Dia — kelir — masih nampak bebas dan menjanjikan. Seolah padang rumput yang mana sejauh mata memandang, batas seolah dibatalkan oleh pandang. Namun, kelir juga muncul dari gulungan-gulungan pentas sebelumnya. Selain menawarkan kesempatan, dia juga memunculkan berkas dan bekas dari guratan pentas sebelumnya.

Atas kelir yang putih tersebut, atas batas yang semakin tak terbatas tersebut, terundang pula pelbagai kejadian, peristiwa, dan kulminasi yang juga tak terbatas.

Masih jenak di ingatan saya tentang hari Minggu kelabu di tahun 2023 dimana saya mengantar Bapak untuk bertemu dengan dirinya dan kenyataannya setelah tiga tahun terburu. Semenjak hari itu, kompas seolah berputar dan kemudi kapal saya melakukan pengereman sangat hebat hingga di beberapa bagian geladak kapal tergores air laut yang asin.

Sungguh aneh, air laut bisa meretakkan juga bagian lambung kapal — setidaknya begini analoginya.

Pukulan demi pukulan datang. Tentu tak mampu terbandingkan dengan yang diterima oleh sesiapapun di luar lingkung diri saya. Tapi dalam satu gelaran wayang dengan lakon paling damai sekalipun, tragedi selalu menjadi sesuatu yang paling dinanti. Sebab darisanalah kehidupan dimulai — hidup yang bermakna.

Pada hari kelabu tersebut, bayanganku yang tertimpa oleh blencong terseret-seret di atas kelir. Lakon yang dibuka oleh cempala [3], telah memasuki babak barunya. Tahun 2023 adalah tahun, yang harus diakui, sebagai tahun yang belur.

Diam, disorientasi, teralienasi — semuanya terjadi paralel dan terasa sangat amat lamban tahun ini, 2023.

Sehingga muncul: Tuku seminggu sekali & Refleksi Minggu Ini. Dua kencan yang selalu aku tunggu-tunggu setiap ujung minggu. Mengunjungi dan meminum Tuku serta menuliskan hal-hal yang ditemui tujuh harinya semacam upacara penting — seperti upaya Gongseng Bangtih (2014) [4] yang mencoba untuk mengembalikan semuanya ke posisinya. Wawas. Waras.

Kelir yang putih itu, yang juga bermakna selaku penutup/kedok, sesungguhnya menyimpan warna yang beragam bila terdispersi. Maka, putih yang datang setiap tahunnya, termasuk tahun 2023, jika mendayagunakan semua indera yang paling mampu, sesungguhnya juga tidak hanya terdiri dari hal-hal kelabu. Dalam hari paling mendung sekalipun, fenomena biasan cahaya putih muncul dalam legok pelangi. Maka, minggu kelabu yang hadir tengah 2023 itu, telah digariskan juga untuk bertemu minggu-minggu dengan warna lain.

Kenapa masih menghidupi yang kelabu jika kita bisa memilih hidup yang berwarna? — dialog bipatridku dengan Billy-lainnya.

Maka, tahun 2023 juga berbicara tentang darasan memilih. Dengan menyadari bahwa setiap harinya, saya dihadapkan dengan banyak opsi dan alternatif, tapi malah jalan ini yang saya pilih, membuat saya menuju sebuah keadilan yang mungkin dimaksud oleh Pak Pram — adil dari sejak dalam pikir. Sistem pengambilan keputusan saya makin diasah di tahun ini. Akibatnya, setiap surat & sirat keputusan yang dikaluarkan, hampir selalu dijalankan dengan kesadaran yang hampir penuh. Bagi saya, tahun politik datang setahun sebelum waktunya.

Inilah yang membuat, Kelir-ku pada 2023, bak proyek mega infrastruktur — dia meluas dan membaik di waktu yang hampir bersamaan. Yang juga hampir memenangkan tender tapi juga terancam pailit di hari lelang. Kepastian dan ketidakpastian seolah menari Gandrung Dor dengan baik di hadapanku. Dan sama seperti kontraktor proyek infrastruktur lainnya, pada hari hujan dan badai pun, proyek perlu tetap dikerjakan, jika ingin maju ke depan memenuhi tenggat agar upah dapat terbayarkan. Namun bukan membabi buta asal selesai, K3 dalam diriku juga memainkan perannya — meminimalisasi “kecelakaan kerja” seraya mengantisipasinya perlahan-lahan melalui skema kesehatan yang mulai dibudayakan tahun ini.

Seperti halnya hari, yang tak mungkin selamanya menyetujui dewan awan mendung untuk terus berunjuk rasa, hari terang dengan kicau burung tersangkar di merah milik tetangga juga diperjanjikan dalam kesempatan tiap harinya. Seperti itulah, kawan-kawan baik yang juga membiak tahun 2023. Hangatnya senyum dan hadir mereka menguatkan.

Upaya pertemuan-perpisahan semakin menjadi kebiasaan. Bertemu dengan Muhammadiyah. Manifestasi. Perjalanan ke Bali untuk pertama kali adalah beberapa hal yang terjadi. Sehingga, definisi “tahun terbaik” bukan hanya terjadi saat urutan to-do-lists tercentang semua melainkan juga tentang: yang belum atau tidak tercentang.

Jika semua hal yang kita inginkan telah terjadi, maka apa yang sesungguhnya kita inginkan?

Jeda, rehat, kalah dan belum, sesungguhnya telah direka bagi mereka — yang memparafrase Prof. Aquarini Priyatna [5] — untuk berjarak dan berelasi dengan subjek atau objek diluar diri mereka; impian, kota, pasangan, dan yang bebas lainnya. Lebih baik lagi. Lebih kuat lagi. Lebih adil lagi. Tanpa itu, umat manusia kehilangan maginya untuk terus menarasikan cerita, merekayasa peradaban, dan mempreservasi kebajikan.

Mbak Sem dalam ujarannya saat menonton wayang di Pagelaran Taman Budaya Jawa Timur mengkritisi kami yang berduyun-duyun datang menyaksikan dari depan — menghadap punggung dalang yang sedang memainkan wayangnya. Menurutnya, wayang seharusnya dinikmati dengan melihat hasil bayangannya di balik kelir — karena memang itu esensi pagelaran ini sehingga dijuluki “Shadow Puppet”. Kurasa memang betul yang dibilang oleh Mbak Sem, karena saat penonton wayang menempatkan dirinya di belakang/balik kelir, penonton akan tahu bahwa penyungging wayang telah sungguh sangat amat mencintai wayangnya. Sebaik-baiknya kreasi. Seutuh-utuhnya penciptaan.

Uniknya, mau pakai blencong dengan warna apapun, bayangan yang jatuh di atas kelir akan selalu sama seperti warna favorit pasangan Tyas & Wildan — hitam. Maka, wayang yang tahu bahwa dirinya sebagai bentuk yang gelap, selalu membutuhkan Nur untuk menjelaskan dirinya. Begitu pula manusia. Jalannya di dunia ini, terangnya selalu terpancar dari kasih Nur Ilahi. Bedanya dengan blencong yang terbatas waktu dan area yang diterangi, Nur Ilahi telah, sedang, dan akan melampaui definisi yang dilekatkan oleh manusia padanya.

Aku tidak tahu pasti tentang Nur seperti apa yang akan meneduhi dan menunjuki di 2024, tapi aku yakin bahwa hal baik akan muncul tak karuan dengan satu kondisi yang sama persis yang dijelaskan oleh Cak Dlahom kepada Romlah di tepian telaga [6]:

“Masalah manusia (pada dasarnya) hanya segenggam garam yang membedakan satu dengan yang lainnya adalah dimana garam tersebut ditempatkan; dalam satu gelas penuh air atau dalam dan luasnya telaga”

Mari meluaskan dan mendalamkan Kelir di 2024!

--

--

BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based