Kartu Lebaran 1445h/2024m

Edisi khusus.

BP Noeringtyas
5 min readApr 13, 2024
Melati Belanda yang ada di dalam pot tinggi gaya yogyakarta (animasi)
Sampul Kartu Lebaran 1445h/2024m

Kepada seluruh kawan terkasih,

Namanya Melati Belanda (Quisqualis indica), adalah nama melati ketiga yang kukenal setelah Melati Putih (Jasminum sambac) yang biasa ada di ronce sebagai pendamping sanggul ala tata riasan pengantin Jawa dan Melati Gambir (Jasminum officinale) yang tumbuhnya menjalar tak karuan di salah satu rumah penyewaan kostum di daerah Gubeng dan di halaman Coffee at Louis. Meski tidak memiliki genus yang sama seperti dua melati sebelumnya, aroma milik Melati Belanda cukup dapat dikelompokkan ke dalam wangi khas melati: harum samar. Bunga ini kupilih untuk merepresentasikan Lebaran 1445 H kali ini seperti kulukiskan dalam coretan sampul kartu ini.

Melati Belanda kutemui pertama kali secara sadar saat berdiri menunggui jemputan mobil online dari rumah sakit. Sebenarnya, pohon tersebut tidak tumbuh di wilayah rumah sakit, namun di bagian pinggir tepian UNUSA. Karena besar dan menjalar, batang, daun, dan bunga pohon ini meluber hingga keluar pembatas sehingga nampak seperti pagar hidup. Bunganya yang bergerombol itu melambai-lambai elok saat diterpa oleh angin. Warna kelopak mekarnya merah muda hingga merah menyala menjadi penanda khusus. Bahkan saat hujan turun pun, bunga dan daunnya nampak menarik seperti kelegaan yang nyata. Hingga tak kuasa aku menahan nafsu berjauhan dengan bunganya, kudekati dan kudului menghirup hapsarinya hingga tak kalah dengan kumbang atau lebah. Aromanya? Mirip seperti berdiri di bawah pohon Pulai (Alstonia scholaris) yang sering berkembang di depan SPBU BP Gubeng. Manis sekali!

Mengapa Melati Belanda?

Lebaran memang tidak pernah dapat talak dari sebuah keunikan dan perbedaan. Jika kawan-kawan sempat singgah di Kartu Lebaran 1444 H, disana kusebut bahwa Lebaran kemarin berbeda. Seolah-olah, Lebaran kali itu sangat signifikan ketimbang Lebaran lainnya. Padahal, setelah direnungi, tiap-tiap Lebaran, mempunyai gelagat yang khas.

Pagi Lebaran tahun ini, aku habiskan dengan Bapak di rumah sakit. Jadwal Bapak yang harus ke rumah sakit di hari Rabu & Sabtu, mengharuskan kami setidaknya untuk melewatkan apapun yang terjadi di pagi dua hari tersebut hingga saat ini. Sepenting dan segenting apapun. Termasuk Lebaran. Saat mengetahui fakta ini dari kepala perawat layanan untuk Bapak, saya terhenyak dan merasa kecewa, kenapa jadwal Bapak harus bertabrakan dengan Lebaran ini. Tapi, ada satu pikiran yang melepaskanku akan kekecewaan itu:

“Bahwa sesiapapun mereka, pasti tidak sudi bertabrakan jadwal dengan apapun. Namun, apabila jadwal Bapak digeser ke hari lain pun, dan ternyata di suatu masa di hari lain tersebut juga dilintasi sebuah perayaan lainnya, maka ya sama saja. Jalan Bapak sudah ditentukan jauh sekali sebelum Bapak perlu mengikuti layanan rutin ini. Jadi, berbesar hati adalah jalan ninja atas semua ini.”

Lebaran kali ini adalah Lebaran yang sangat identik dengan Bapak. Salah satunya karena hampir dari setahun belakangan ini, ghirah dan minat Bapak untuk datang kontrol cukup baik dan cenderung konstan. Hampir tidak pernah aku lihat, sehari pun di waktu-waktu ke rumah sakit, Bapak mengeluh dan menunda niatnya untuk hadir. Ini adalah hal yang paling diriku syukuri tiap minggunya di atas beberapa prioritasku. Hal ini juga selaras dengan olah batin yang Ramadan ajarkan padaku untuk selalu muduk (rendah hati) terhadap apapun dan sebisa mungkin berlatih wawas. Maka apabila Lebaran identik dengan ‘menang’, aku kira Bapak pun telah ‘menang’.

Menang untuk tetap berusaha menjadi wadah atas apa-apa yang Gusti Allah telah gariskan. Kukira penjelasan paling dekat dengan narasi dan penggambaranku adalah ikhlas. Karena dengan tetap terus berusaha, aku kira Bapak tetap terus menghidupi restu Gusti Allah akan waktu-waktuNya. Aku sungguh belajar dalam selama Ramadan kali ini dari Bapak dan upayanya untuk tetap menjaga semuanya dalam kendali. Oleh karena itu, mengasosiasikan tumbuhan Melati Belanda yang hidup di samping RS dengan niat dan semangat Bapak untuk terus sampai disini bukanlah hal yang muspro & berlebihan. Walau kebersamaan Lebaran pagi kami agak tertunda kali ini, namun kuanggap momen ini adalah fitur unik dari Lebaran kami kali ini.

Melati Belanda yang tumbuh di depan pintu kami turun dan naik kendaraan seolah menyambut kami. Kalau ITB punya bunga yang hanya tumbuh di tengah tahun untuk menyambut Putra-Putri terbaik bangsa, maka cukuplah Melati Belanda ini yang bisa kupandangi dan sesekali kugoda mereka, yang membuat alasan untuk tetap hidup hari itu dengan Bapak menjadi kuat.

Sampul Kartu Lebaran 1445 H ini juga merupakan asimilasi dari dua hal yang mungkin tidak ada kaitannya secara langsung, meski berasal dari sumber yang sama. Aku terinspirasi dengan Yasa Peksi Burak. Sebuah gambaran tentang tunggangan Kanjeng Nabi saat naik ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat lima waktu. Alih-alih berupa burung berbadan turangga yang jamak sekali digambarkan, yang kulihat pertama kali, Yasa Peksi Burak lebih mirip tumpukan buah dan sajian. Sebuah imaji menarik tentang bagaimana Islam divisualisasikan oleh masyarakat Jawa dan Kraton Yogyakarta khususnya.

Gambaran ini muncul juga berkenaan dengan perjalanan yang kulalui sepanjang tahun lalu: Sebaik-baiknya seluruh ‘arah’ perjalanan, masih utama dan begja (baik) perjalanan menuju Kilen (Barat). Menuju kiblat. Sumbu utama salat.

Paduan lainnya juga berasal dari Srimpi Renggowati, sebuah tarian srimpi yang menggambarkan dewi Renggowati bersua dengan Mliwis Seta (Belibis Putih) jelmaan Prabu Angling Darma. Tarian ini merupakan yasan Dalem HB V. Seluruh fragmen tari dilaksanakan dengan mengambil latar sebuah taman dengan satu pohon utama bertenggernya Mliwis Seta dengan dikelilingi empat pohon kecil penuh bunga. Saat srimpi mulai ditarikan, ada semacam kolaborasi unik yang terjadi. Biasanya tari-tarian Jawa klasik minim digambarkan secara langsung bertemu dengan unsur alam, namun kali ini dapat ditemui dengan mudah di tarian ini.

Gambaran ini juga ingin kusajikan untuk menekankan bahwa Lebaran kali ini adalah jeda yang paling baik dari segala distraksi dalam pelbagai upaya tari-tari kita di dunia ini untuk merayu Ridho Gusti Allah selalu.

Adapun sedikit aksen janur (ujung daun muda kelapa) diberikan menjadikan Lebaran ini sebagai momen agung kemunculan hal-hal baik baru. Jika janur tersebut dibentuk sedemikian rupa menjadi sebuah ketupat atau wadah lainnya, dan diisi oleh beras atau biji-bijian lainnya, maka dapat memberikan rasa kenyang dan nyaman bagi banyak orang. Kiranya esensi Syawal adalah seperti itu: menjadi aman dan nyaman untuk seluruh makhluk.

Teman-teman yang selalu baik dan semoga selalu terlimpah Ridho Gusti Allah,

Semoga selalu dalam kondisi sehat dan berbahagia ya!

Dua kondisi yang selalu jadi pemeran utama dalam doa dan harapan banyak hati sekaligus jamak sekali diumbulkan setiap saat. Keduanya persis sekali seperti proses menari. Ada kalanya energi menari berlimpah di gerakan-gerakan tertentu. Ada masanya itu terkuras habis. Tapi, sang penari tetap saja menari. Tidak peduli sepayah apapun gerak tubuh yang perlu ditasbihkan. Dan baik bagi penari maupun penikmat tarian, itu tetap saja dapat disebut sebagai tarian. Maka, sehat dan bahagia yang kita jaga supaya konstan itu, supaya menetap dan tinggal lebih lama itu, juga ada jangkanya turun.

Ingat, itu juga tetap dapat disebut sebagai sehat dan bahagia. Mengingkari kedua kata tersebut dengan menafikan emosi dan kondisi tubuh yang terjadi malah akan membuat keduanya kehilangan makna.

Atas seluruh kerendahan hati yang dimiliki Ramadan dan Syawal, Semoga kartu Lebaran kali ini dapat menjadi hal baik yang kalian bisa ingat dan simpan.

Selamat berlebaran!

Mohon Maaf apabila selalu terselip sebuah duri yang melukai dalam kata dan laku yang diriku pernah dan sedang lakukan. Salam untuk seluruh orang terkasih kalian ya!

\BP

--

--

BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based