Dekat

Sebuah pendek 0012. Esai pendek tentang: Hidup!

BP Noeringtyas
4 min readNov 6, 2023

Bagi bapak dan ibu, sungai dan kisahnya adalah bagian yang tidak terpisahkan dari apa yang mereka bisa turunkan pada kami, anak-anaknya. Betapa tidak, Bapak lahir bersisihan dengan Kali atau Bengawan Madiun sementara Ibu lahir bersisihan dengan Bengawan Solo, sungai terpanjang di pulau Jawa. Pada bantaran kedua sungai inilah, Bapak dan Ibu membuat memori pada ihwal masa kanak-kanak mereka. Sehingga cerita dan legenda tentang kedua sungai selalu dituturkannya pada kami, khususnya bagaimana mbah-mbah kami menyusuri Bengawan Solo saat hendak berdagang dari Ngawi ke Surabaya. Riuh pedagang meramaikan sepanjang Bengawan Solo tuturnya. Bertahun kemudian, tentu sengaja, saat SMP saya memilih lagu Bengawan Solo untuk pentas lomba nyanyi Keroncong tingkat remaja di THR Surabaya, saya mengenang lagu ini sebagai lagu yang dekat dengan sejarah hidup keluarga ayah dan ibu.

Lirik lagu yang sederhana membuat Bengawan Solo mudah diterima banyak orang, bahkan banyak diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa dunia. Almarhum Pak Gesang mungkin saja telah melaksanakan tugas mulia orang tuanya; membuat namanya: Gesang — yang berarti hidup/kehidupan (jawa) — terus menerus abadi melalui lagu Bengawan Solo selalu diputar dan setidaknya terngiang pada segelintir orang penyuka Keroncong.

Bukankah setidaknya ini yang dimaksud ‘hidup dalam keabadian’(?)

Ingatan saya tentang Bengawan Solo dan Gesang ini yang muncul persis saat saya menemui tulisan: “From the river to the sea, Palestine will be free” dalam kurun waktu hampir sebulan terakhir. Betapa tidak, lagu yang diciptakan Pak Gesang ini dengan cukup jelas memuat kalimat dengan diksi serupa.

“Air mengalir sampai jauh, akhirnya ke laut”.

Walau setelah ditelusuri dari beberapa sumber, maknariver to the sea” ternyata juga cukup beragam. Tapi, kenyataan bahwa lagu mahsyur tentang sebuah sungai di Jawa inilah yang terlintas dipikiran, membuat jargon tersebut dekat dengan saya.

Ingatan samar kemudian muncul jika membicarakan tentang semangka. Setidaknya ada empat hal yang saya ingat saat membicarakan tentang salah satu buah yang kemarin pagi dibeli Ibu dari pasar dekat rumah ini.

  1. Ervin pernah bilang, dia tidak menikmati semangka karena justru buah ini membuatnya panas dalam.
  2. Mbak Sem juga pernah menegurku saat diriku mengiris semangka hingga sangat tipis dengan menyisakan bagian putih yang cukup banyak pada salah satu tahun perayaan lebaran UKTK.
  3. Tak ingat sewaktu duduk kelas berapa, saya merayakan malam tirakatan di kawasan rumah budhe dengan membawa sebaki penuh semangka dari Almarhum Ibu Yoga.
  4. Buah yang sekarang tidak bisa dimakan oleh Bapak karena terlalu banyak air.

Setiap gambar semangka muncul dimana pun selama dua minggu terakhir untuk menggantikan simbol bendera Palestina sebagai bentuk perlawanan, kuartet memori ini yang muncul. Hal yang begitu melekat dan dekat dengan saya, ternyata diejawantahkan dengan cukup lantang di bagian belahan dunia lainnya.

Sehingga saya berfikir dan merasa bahwa sebenarnya perjuangan untuk sekali lagi hidup di atas bumi sendiri yang dilakukan saat ini — atau praktis berpuluh tahun lamanya — oleh Palestina itu dekat dengan saya. Sungai dan Semangka. Keluarga dan Acara-acara.

Bahwa sekali lagi manusia diberi satu hari untuk membuka mata, kesamaan-kesamaan muncul dimana-mana. “Daripada bedanya, kita itu banyak samanya” — kuambil dari apa yang mbak Trisi pernah paparkan dalam sebuah pemaparan tentang program toleransi di sekolah di tiga provinsi setahun lalu.

Sampai-sampai, pada Iven aku berujar tentang ini:

Lagi-lagi, umat manusia terampil bermetafora dalam ungkapan-ungkapan keseharian mereka dari interaksinya dengan apa yang paling ‘Dekat’ dengan mereka. Makna Semangka dalam pergerakan masyarakat Palestina juga beriringan dengan hasil alam yang tumbuh disana; Jeruk, Zaitun, dan Terong. Dan kenampakan alam, semacam Sungai Yordan juga dijadikan wujud aksi-aksi selanjutnya. Ini yang menjelaskan dan mendudukkan mereka. Ini yang mengartikan akumulasi pergerakan disana: tentang ‘Gesang’ yang paling ‘Dekat’ yang seharusnya subur dan mekar di pekarangan mereka.

Jika itu direbut paksa, apa makna yang tersisa(?).

Syahdan, saya rasa sastra dan puisi telah sampai pada babak barunya. Tentang sisi maginya untuk berbuat luluh dan tentang japa mantra sebagai juru runding paling mungkin saat draft solusi untuk mengentikan ini semua akhirnya sia-sia. Bu Retno menuliskan puisi untuk ini. Senada, dalam unggahan tanggal 05/11/23, mbak Nana mengutip sebuah puisi dari Hanan Mikha’il Ashrawi.

Dan ya, kita masih butuh tangan-tangan terampil anak sastra, jurusan humaniora, untuk memperindah dunia dan untuk menjadi teladan akan kata-kata. Semakin kesini, semakin kesana.

Karena dengan kata-kata, kita (bisa) menjadi manusia.

Setiap orang punya cara untuk mendukung apapun yang mereka yakini perlu dan benar untuk dilakukan. Dan kali ini, besarnya inspirasi datang dari Ikatan Pelajar Muhammadiyah dalam beberapa kali sua yang kerap mengutip 68:1 di ujung pemaparan mereka, saya menggunakan ujung jari saya untuk mengetik seraya menyuarakan bahwa: saya menulis sebagai manusia — bahwa masyarakat Palestina wajib merdeka selayaknya manusia lainnya.

Jalan masih sangat panjang. Tapi, akan tiba di suatu masa.

Selama tidak berhenti, semua hanya perkara durasi.

Tabik!

Surabaya, 06 November 2023 M| 22 Rabiul Akhir 1445 H

Pendek ini hampir dapat dipastikan tidak saya tulis akibat paksaan apapun, manapun atau siapapun, tetapi murni dari — yang kalau saya bisa sebut sebagai — ‘perjalanan mengenal Palestina’. Bagi saya, mereka yang sedang berjuang sehidup semati, berhak mendapatkan perhatian yang layak tentang bagaimana saya mendekati mereka, secara adil, semampu saya. While, the most proximate point where I could stand for this issue is empathy, wholeheartedly, let be this as a local interpretation of it. Selain itu, artikel ini juga mengajak untuk mencoba mendefinisikan ulang tentang jarak dan memori; jauh-dekat, lupa-samar-ingat, yang seringkali tidak kita temukan dalam rutinitas sehari-hari, karena ‘take it for granted’. Mereka seringnya terasa di terminal, stasiun, bandara, pelabuhan, rumah sakit, pekuburan, dan lokasi lain yang dalam banyak situasi, membuat diri kita menjauh dari titik semula bermula; pulang-rehat-pergi-pisah. Untuk mengetahui apa yang hilang, untuk mengenang apa yang menetap. Hidup!

--

--

BP Noeringtyas

Seizing subtle things thru written storytelling while dancing w/@renjanainclusive (follow us on IG!) / SBM ITB MBA / UNAIR BSc in Islamic Econ / ID Based